Minggu, 06 Desember 2009

BAPTIS ANAK



Setelah tiga hari minggu berturut diwartakan dan tidak ada surat keberatan sah yang masuk ke Majelis jemaat, maka pada hari – Minggu, 6 Desember 2009, pada Kebaktian Umum pukul 08.30 WIB, di GKI Taman Majapahit dilayani Sakramen Baptis Anak oleh Pdt. Surya Samudera Giamsjah.

Adapun yang menerima Sakramen Baptis Anak :

1. Aksara Aji Wicaksono Yakobus dan Widya Ayu Wardhani Yakobus ; putra dan putri dari Bp/Ibu Dwi Aprianto Wibowo Yakobus, alamat rumah Jl. Plamongan Indah Blok I 5 / 22 Semarang

lihat slide klik disini

2. Edelyn Allicia Lovie Susanto dan Gladys Lionella Clara Susanto ; putri kembar dari Bp/Ibu Nathanael Aris Susanto, alamat rumah Perum Batur Sari Blok L 8 / 10 Semarang.

lihat slide klik disini

3. Filo Aprilia Eniko ; putri dari Bp/Ibu Christian Eko Sih Budi Utomo, alamat rumah Jl. Ketileng Indah Blok m 57 C Semarang.

lihat slide klik disini

4. Gifford Kara Samudera Giamsjah ; putra dari Bp/Ibu Surya Samudra Giamsjah, alamat rumah Jl. Bougenville Selatan I / EE-53 Semarang.

lihat slide klik disini

Selasa, 01 September 2009

MULTI MEDIA GEREJA “EASY WORSHIP ATAU EASISLIDES ?”

Gereja2 saat ini untuk kenyamanan dlm beribadah, maupun kegiatan2 di gereja yg lainnya mulai banyak menggunakan fasilitas yg dinamakan LCD. Tidak ketinggalan jg dengan GKI, tapi sayangnya gedung gereja GKI sebagian besar tdk dirancang untuk peralatan multimedia tsb, sehingga agak repot jg ketika tiba saatnya untuk penempatan screen, LCD proyektor, maupun PC/laptop. Demikian jg yg dialami di GKI Taman Majapahit Semarang yg sdh mulai menggunakan LCD sebagai fasilitas mendukung ibadah (terutama baru KAP dan ibadah / acara khusus).


Bicara mengenai software dlm multimedia untuk mendukung ibadah tsb, biasanya yg nyantol dipikiran kita adalah EASY WORSHIP, tapi tdk menutup kemungkinan masih banyak juga yg menggunakan power point (walau kadang dianggap jadul tapi dpt digabung dg easy worship). Dengan Easy Worship tampilan di screen nampak variatif dan nyaman dipandang, demikian jg dg operatornya mudah menjalankannya, menarik tdknya tampilan tgt juga kreatifitas dari sang operator. Kalo mo tahu lebih jauh ttg easy worship lihat aja di sini tapi disitu ada fasilitas untuk download easyworship free 30 day trial version (22 MB), tapi kalo mau coba yg tdk trial tapi yg versi portable download saja di sini . Easy Worship 2006 Portable (19,91 MB), dan akan lebih menarik lagi kalo Alkitab yg ditampilkan ditambahkan yg bhs Indonesia (nggak ngajari jemaat malas buka Alkitab lho) dapat ditambahkan dg file Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru download saja di sini (1,38 MB).


Kalau Easy Worship berbayar (harus beli, walau kebanyakan beli bajakan 50-100 ribu easy worship 2007), berbeda dg EASISLIDES yg dibuat oleh Wai Kuen Mo, tampilannya sangat mirip sekali dg Easy Worship, hanya yg membedakan ini memang benar2 gratis, mau coba tampilannya juga lumayan walau tdk sebagus Easy Worship, buka saja di sini dan versi yg ada adalah EasiSlides v 4.0.4, download dpt dilakukan 3 step : STEP 1. Download Microsoft .NET Framework 2.0, optional Windows Media Player (23 MB) , STEP 2. Download And Install EasiSlides Software (3,7 MB), dan STEP 3. Download Holy Bibles (Optional) klik. Ohya, Alkitab defaultnya King James Version, Chinese Union (Traditional), Chinese Union (Simplified), American Standard Version, Revised Standard Version, tetapi juga ada Alkitab yg bahasa Indonesia tinggal download dan tambahka saja.


Selamat mencoba, GBU.

Senin, 24 Agustus 2009

SEJARAH BERDIRINYA JEMAAT GKI TAMAN MAJAPAHIT SEMARANG

Syaloom ….., Tuhan Yesus sebagai Raja dan Kepala Gereja tidak pernah meninggalkan Jemaat-Nya ; DIA senantiasa berkarya, memelihara, membimbing dan menuntun serta melimpahi berkat yang tidak pernah berkesudahan.

Berbicara mengenai Sejarah Berdirinya Jemaat GKI Taman Majapahit Semarang, tentunya tidak lepas dari kerinduan Majelis Jemaat GKI Karangsaru Semarang dan GKI Peterongan Semarang untuk mendirikan Jemaat di Wilayah Semarang Timur.

Keinginan dan cita-cita ke 2 Majelis Jemaat tersebut dikarenakan adanya Persekutuan Doa di Wilayah Semarang Timur yang dirintis oleh ke 2 Jemaat tersebut, misalnya di :

• Daerah Tlogosari (di rumah Almarhum Bapak Simon Santoso), yang dikelola oleh GKI Karangsaru.
• Jalan Majapahit (di rumah Almarhum Bapak Samat Sukoprayitno), yang dikelola oleh GKI Peterongan.
Usaha pencarian tanah untuk Rumah Ibadah di Wilayah Semarang Timur, sudah mulai dilakukan jauh sebelum tahun 1990 ; bahkan Majelis Jemaat GKI Peterongan sempat mengontrak sebuah rumah di daerah Kakancan Mukti Semarang Timur, yang difungsikan sebagai Rumah Pastori untuk Pdt. Wibisono Siswanto, S.Th. yang saat itu masih “Capen” dengan tujuan dan harapan agar dapat membangun Persekutuan Jemaat sebagai awal mula berdirinya Jemaat di Wilayah Semarang Timur.

Pencarian lahan untuk Rumah Ibadah ini tentu bukan merupakan pekerjaan yang mudah, sebab yang menjadi penghambat utama adalah masalah dana, lingkungan, lokasi yang strategis serta Ijin Mendirikian Bangunan (IMB) Rumah Ibadah.

Didukung oleh perkembangan kota Semarang yang mengarah ke Wilayah Timur dan Selatan, yang ditandai dengan dibukanya perumahan-perumahan baru di daerah Semarang Timur, serta banyaknya Jemaat GKI Karangsaru dan GKI Peterongan yang berdomisili /bertempat tinggal di daerah tersebut, maka kerinduan untuk mengadakan Rumah Ibadah menjadi pergumulan kedua Majelis Jemaat.

Pada bulan Juli 1993, seorang anggota Majelis Jemaat GKI Peterongan mendapat informasi, bahwa di Wilayah Semarang Timur akan didirikan Kompleks Perumahan Taman Majapahit Estate. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukanlah pendekatan dengan Pihak Pengembang, mengenai kemunkinan didirikannya Rumah Ibadah di Kompleks tersebut. Mengingat salah seorang direksi PT. Kakancan Mukti : Ir. Ibu Ninditarini Yutata adalah anggota jemaat GKI Karangsaru, maka kerinduan tersebut mendapat tanggapan yang sangat positif.

Selanjutnya, melalui pembicaraan informal antara anggota Majelis Jemaat GKI Peterongan dengan Pdt. Benyamin Susilo dari GKI Karangsaru, dibahas beberapa persoalan mengenai kesulitan yang akan dan harus dihadapi dalam hal :

1. Bentuk Kerjasama
Berkait dengan Tata Gereja GKI Jateng yang tidak mengatur adanya Bakal Jemaat yang didirikan oleh 2 Gereja, persoalan ini terselesaikan dalam Persidangan Majelis Jemaat, dimana kedua belah pihak memberi dukungan dan respon/tanggapan yang positif.

2. Pemberian Nama
Setelah berntuk Kerjasama dengan berpedoman pada Tata Laksana GKI Jateng disetujui kedua belah pihak, dibuatlah proposal pada bulan November 1993, untuk disampaikan, dipelajari dan disetujui Majelis Jemaat kedua belah pihak. Kendala berikutnya yang muncul adalah mengenai Pemberian Nama Pos Bakal Jemaat.

Kesepakatan dalam Kerjasama yang diperoleh adalah dengan memberi nama : Pengembangan Jemaat GKI Wilayah Semarang Timur dan panitianya diberi nama : Panitia Pembinaan Jemaat GKI Wilayah Semarang Timur.

Calon Panitia yang pertama kali dibentuk, mengadakan pertemuan pada tanggal 30 Maret 1994, untuk membicarakan Rencana Pengembangan Jemaat di Wilayah Semarang Timur.

Panitia Pembinaan Jemaat GKI Wilayah Semarang Timur dilantik oleh ke 2 Majelis Jemaat dalam Kebaktian Minggu 15 Mei 1994 pukul 08.00 WIB di GKI Peterongan, yang dipimpin oleh Pdt. Benyamin Susilo, dimana dalam Kebaktian tersebut sekaligus juga ditanda tangani Dokumen Kerja Sama oleh ke 2 Majelis.

Dengan modal persetujuan kerjasama dan dana yang ada, panitia mulai bekerja dengan melihat lokasi, serta melakukan negosiasi dengan pihak PT. Kekancan Mukti. Lokasi Tempat Ibadah sempat berpindah karena Master Plan Proyek mengalami perubahan yang memakan waktu hampir satu tahun. Namun demikian, panitia tidak berputus asa, melainkan terus melengkapi syarat-syarat guna mengurus ijin. Akhirnya keluarlah rekomendasi dari Departemen Agama, yang sangat bermanfaat untuk mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), guna memulai pembanguan gedung gereja.

Penyerahan Kapling dilakukan pada tanggal 19 Mei 1995, setelah lokasi terpilih dan harga tanah disetujui, selanjutnya pada tanggal 8 Juni 1995 dilakukan perjanjian jual beli pendahuluan, sementara panitia terus mengurus ijin yang tidak mudah dan harus melalui banyak tahapan dari instansi terkait.

Puji Tuhan, menjelang Kampanya Pemilu 1997, Surat Ijin Mendirikan Banguanan (IMB) keluar, sehingga bertepatan dengan Paskah 30 Maret 1997, dilaksanakan Kebaktian Peletakan Batu Pertama Pembangunan Gedung Gereja, dengan target bahwa pada akhir tahun 1997 dapat dilaksanakan Kebaktian Natal sekaligus Kebaktian Perdana di gedung ini. Benar-benar sebuah Anugerah, Hadiah Natal diberikan pada Warga GKI di Wilayah Semarang Timur.
Dengan tak henti, berkat Tuhan terus mengalir, sehingga menyebabkan proses pembangunan tidak mengalami hambatan, khsusnya dalam pengadaan dana, meskipun krisis moneter terjadi pada waktu / saat itu.

Akhirnya pada tanggal 26 Desember 1997, pukul 17.00 WIB, sesuai dengan rencana diadakanlah Kebaktian Perdana, Peresmian Gedung Gereja sekaligus Kebaktian Natal yang menjadi tonggak sejarah berdirinya GKI Taman Majapahit.

Pada tanggal 9 November 1998, atas permohonan ke dua Majelis Jemaat, diadakanlah Pelawatan Khusus oleh BPMK GKI Jateng Klasis Semarang Timur guna meningkatkan status Pos Pembinaan Jemaat menjadi Bakal Jemaat, dengan mengingat bahwa aktivitas bergereja dan pembinaan aktivis yang terus dilakukan berkembang dengan baik, terlebih pada kemandirian dalam hal pengelolaan dana dan daya, yang terlihat dengan jelas.

Hasil Pelawatan Khusus selanjutnya direkomendasikan dalam Persidangan II Majelis Klasis GKI Jateng Klasis Semarang Timur pada tanggal 14-16 Juni 1999, dimana kahirnya pada tanggal 4 April 1999, bertepatan dengan hari Paskah, status Bakal Jemaat diresmikan dalam Kebaktian Khusus, namanya pun diubah menjadi GKI Karangsaru dan Peterongan Semarang Bakal jemaat Taman Majapahit Semarang.

Tepatnya pada tanggal 19 Februari 2001, setelah pada aktivis dan para Calon Majelis Jemaat GKI Taman Majapahit dirasa cukup mandiri, sekali lagi kedua Majelis Jemaat, yaitu GKI Karangsaru dan GKI Peterongan Semarang mengajukan permohonan kepada BPMK GKI Jateng Klasis Semarang Timur untuk mengadakan Pelawatan Khusus dalam rangka meneliti kelayakan untuk menjadikan Bakal Jemaat GKI Taman Majapahit menjadi Jemaat Dewasa.

Sekali lagi, hasil pelawatan disampaikan pada Persidangan VI Majelis Klasis GKI Jateng Klasis Semarang Timur tanggal 14-16 Mei 2001 di Bandungan, Persidangan akhirnya memutuskan : Menyetujui Pendewasaan Bakal Jemaat (Bajem) Taman Majapahit menjadi Gereja Kristen Indonesia Taman Majapahit Semarang.

Akhirnya pada hari Rabu, 8 Agustus 2001, bertepatan dengan HUT ke 56 – GKI Jateng, berdirilah Jemaat Baru yang diberi nama : Gereja Kristen Indonesia Taman Majapahit Semarang, yang menjadi Jemaat ke 81 dari Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah.

Puji syukur, demikian banyak berkat yang dianugerahkan Tuhan Yesus Kristus pada Jemaat-Nya. Dengan bantuan dana dari BPMK GKI Jateng Klasis Semarang Timur dan melalui kepedulian dan peran serta berbagai pihak termasuk anggota jemaat dan simpatisan GKI Taman Majapahit yang telah digerakkan oleh Tuhan Yesus Kristus sebagai Raja Gereja, GKI Taman Majapahit telah memiliki :

• Sebuah Rumah Pastori lengkap dengan isinya, berlokasi di Jl. Bougenville Selatan I No. 53 Semarang.

• Sebidang tanah yang terletak di Jl. Bougenville Raya Blok EE No. 63 Semarang, dimana di atas lahan tersebut didirikan Balai Betlehem yang difungsikan sebagi Ruang Serba Guna.

Dengan berkembangnya Jemaat GKI Taman Majapahit, yang saat ini tercatat sebanyak + 330 orang anggota jemaat sidi, berlum termasuk di dalamnya anggota Remaja yang belum Sidi dan Kanak / Anak-anak (+80 anak mengikuti Kebaktian Sekolah Minggu, + 40 anak hadir di Kebaktian Remaja dan +8 orang yang hadir di Persekutuan Pemuda), maka sejak Januari 2006 diselenggarakan 2 kali Kebaktian dalam satu minggu, yaitu :

• Kebaktian Akhir Pekan, dilaksanakan setiap hari Sabtu, pukul 18.00 WIB, yang dikemas dengan nuansa kontemporer namun tidak “meninggalkan” Liturgi GKI.
• Kebaktian Minggu, dilaksanakan rutin setiap hari Minggu pukul 08.30 WIB.

Sampai dipenghujung tahun 2008, GKI Taman Majapahit masih bergumul untuk memiliki seorang Hamba Tuhan/Pendeta. Selama kurun waktu 8 tahun ini, GKI Taman Majapahit dilayani oleh Pendeta Konsulen, yaitu :

• Pdt. Johanes Lie, M.Min, dari GKI Karangsaru (2001 – 2006).
• Pdt. Ibu Anna Johan, S.Th, dari GKI Peterongan (2006 – sekarang).

Pada kesempatan yang berbeda, Pelayanan Mimbar di GKI Taman Majapahit dilayani juga oleh :

• Mahasiswa Praktek / Stage selam 2 bulan atau 1 tahun, baik dari Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang (SAAT Malang), Sekolah Tinggi Theologia Bandung (STTB), Universitas Duta Wacana Yogyakarta (UKDW Yogyakarta), maupun Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (UKSW Salatiga).
• Tenaga Bantuan Pelayanan dari Jemaat / Gereja GKI yang lain atau Jemaat / Gereja yang se azas dengan ajaran GKI.

Akhirnya……… di ulang tahun yang ke VIII ini, marilah kita senantiasa bersyukur atas apa yang Tuhan sudah berikan, termasuk seorang Hamba Tuhan / Pendeta yang akan diteguhkan pada hari Senin, 30 November 2009.

“IA (Tuhan) membuat segala sesuatu indah pada waktunya……….”


Catatan :

Sejarah Berdirinya Jemaat GKI Taman Majapahit Semarang ini dibacakan oleh Ibu Widyanti pada Ulang Tahun GKI Taman Majapahit ke 8, pada Kebaktian Minggu tanggal 9 Agustus 2009.

Sabtu, 22 Agustus 2009

HIDUP SEBAGAI PILIHAN

Yos. 24:1-2, 14-18; Mzm. 34:16-23; Ef. 6:10-20; Yoh. 6:56-69

Pengantar
Esensi hidup yang terjalin dalam rangkaian pilihan etis-iman akan menjadi muskil ketika pola pemahamannya didasari oleh sikap yang deterministik. Sebab dalam pandangan yang deterministik pada prinsipnya meniadakan kemungkinan kehendak bebas dalam kehidupan manusia. Pandangan deterministisme menegaskan bahwa semua aktivitas, termasuk pilihan moral, sepenuhnya telah ditentukan oleh kehendak Allah sebelumnya. Karena segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, maka manusia hanya melakukan apa yang telah ditakdirkan. Sehingga dalam konteks tersebut manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk membuat pilihan. Kalau seandainya manusia membuat suatu pilihan, maka dalam pandangan determinisme hanya akan dianggap sebagai suatu sikap yang telah ditakdirkan dari Allah. Hakikat manusia dalam pandangan determinisme hanya dipandang seperti boneka atau wayang yang gerakan dan tingkah-lakunya diatur oleh kemauan sang dalang. Jadi yang menjadi “subyek” dalam arti sebenarnya hanyalah sang dalang, yaitu Allah. Sedangkan manusia hanyalah sekedar alat atau obyek yang tidak memiliki kehendak bebas untuk mempertanggungjawabkan sikapnya. Dengan demikian peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang sebenarnya hanya merupakan ketentuan takdir. Kehidupan setiap orang dalam pengertian determinisme pada prinsipnya telah memiliki garis nasibnya masing-masing, dan mereka tidak mampu mengelaknya. Jelas sikap determinisme identik dengan fatalisme yang menyebabkan manusia tidak mampu bertanggungjawab secara etis dan iman. Karena itu pandangan determinisme tidaklah memadai untuk menjawab masalah hidup sebagai pilihan. Muncullah kelompok yang menolak pandangan determinisme sebab hanya mendorong manusia untuk bersikap pasif dan pasrah kepada takdir ilahi. Kelompok yang menolak pandangan determinisme ini sering disebut dengan “inkompatiblisme” (ketidakterpaksaan). Sebab dalam pemahaman “ketidakterpaksaan” memberi tempat kepada manusia untuk menentukan dan mempertanggungjawabkan kehendak bebasnya (free-will). Jadi dalam pemahaman “inkompatiblisme” menegaskan bahwa melalui kehendak bebasnya, manusia justru dimampukan untuk memaknai dan mengaktulisasi dirinya melalui keputusan atau pilihan etisnya.



Kehendak bebas dalam iman Kristen dihayati sebagai suatu anugerah yang dikaruniakan oleh Allah. Sebagai wujud dari anugerah Allah, maka esensi kehendak bebas pada hakikatnya memiliki tujuan yang luhur. Sebab melalui karunia tersebut, Allah telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang mampu memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan sikap. Kesaksian di Kej. 1:26 secara lebih spesifik menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya. Dengan demikian selaku mandataris Allah, manusia selaku pemegang mandatNya dipercaya untuk mengelola kehidupan ini dan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Sehingga dalam setiap pilihan dan keputusan etisnya, kehidupan manusia seharusnya senantiasa mencerminkan sifat-sifat atau karakter Allah. Dengan demikian makna hidup sebagai pilihan sebagai wujud dari kehendak bebas tidak boleh terlepas dari panggilan manusia untuk menjadi gambar dan rupa Allah. Kehendak bebas hanya akan menjadi “kehendak bebas” manakala senantiasa didasari oleh panggilan untuk hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Justru di sinilah masalahnya. Karena dalam praktek hidup justru kehendak bebas manusia sering dipisahkan dari panggilannya sebagai gambar dan rupa Allah. Akibatnya yang terjadi adalah suatu bentuk kehendak bebas yang tanpa nilai etis, moral dan iman. Dalam konteks ini makna hidup sebagai pilihan justru dihayati sebagai pilihan bebas untuk berbuat dosa. Makna hidup sebagai pilihan dipandang mereka sebagai kesempatan untuk berbuat dosa apa saja. Dengan demikian sikap “inkompatibilisme” (ketidakterpaksaan) saja tidaklah cukup! Sebab yang menjadi tekanan utama dalam paham “inkompatibilisme” adalah kehendak bebas manusia berperan. Apakah memang benar kita bebas untuk memilih apa yang jahat? Hukum sekuler telah membuktikan, siapa yang sengaja atau memilih melakukan apa yang jahat akan segera dikenai sanksi. Tepatnya siapapun yang secara sengaja dan merencanakan tindak kejahatan, maka mereka akan menerima hukuman. Jadi sebenarnya setiap orang tidak bebas untuk memilih apa yang jahat, kecuali mereka siap untuk menanggung risikonya. Jadi umat manusia hanya bebas untuk melakukan apa yang benar dan baik. Jika demikian, bagaimanakah agar kita dapat mewujudkan suatu pilihan dan keputusan yang benar di hadapan Allah dan sesama dalam kehidupan ini?

Relasi, Bukan Doktrin
Sebagaimana telah kita bahas bahwa makna hidup sebagai pilihan dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu pilihan sebagai sikap yang telah ditentukan oleh takdir (determinisme), dan pilihan sebagai hasil kehendak bebas (inkompatiblisme). Yang mana kedua sikap tersebut tidaklah memadai. Sikap pilihan yang deterministik akan menyebabkan manusia hanya mampu menghayati kebenaran dan kehendak Allah secara doktriner. Pilihan dan keputusan etis yang diambil didasarkan kepada rumusan-rumusan doktrin yang pernah mereka terima tanpa pemahaman yang substansial. Mereka membuat keputusan etis-iman karena mereka memang tidak mampu berbuat lain atau bertindak sesuai dengan kesadaran yang sesungguhnya. Sehingga seluruh tindakan, plihan dan keputusan mereka terjadi secara mekanis - tanpa refleksi etis dan iman. Mereka hanya meneruskan apa yang telah mereka dengar dan yang diajarkan oleh orang-tua mereka. Dengan kualitas iman yang doktriner, maka mereka tidak akan mampu menghadapi berbagai perubahan, perkembangan dan tantangan hidup. Di kitab Yos. 24:1 menyaksikan bagaimana saat Yosua telah lanjut usia, dia mengumpulkan para tua-tua orang Israel, para kepalanya, para hakimnya dan para pengatur pasukannya di Sikhem. Pertemuan yang diadakan oleh Yosua di Sikhem tersebut pada hakikatnya untuk merefleksikan ulang karya keselamatan Allah yang telah terjadi sampai mereka mendiami tanah terjanji. Yosua tidak menginginkan umat Israel meninggalkan Allah dengan berpaling kepada ilah-ilah lain saat dia meninggal. Karya keselamatan Allah yang pernah terjadi perlu direspon secara aktual oleh umat Israel. Iman yang tangguh perlu selalu diaktualkan agar bebas dari kebekuan sikap doktriner. Itu sebabnya di Yosua mengajukan pertanyaan agar mereka membuat pilihan dan keputusan, yaitu: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15).

Tantangan yang diajukan oleh Yosua kepada umat Israel tersebut bukan suatu bentuk dari sikap doktriner atau pemaksaan dengan suatu ancaman; tetapi merupakan hasil dari suatu refleksi iman yang faktual. Yosua memaparkan secara rinci bagaimana Allah telah berkarya dalam kehidupan nenek-moyang mereka yakni Abraham sampai Musa yang dilanjutkan dengan pertolongan Allah sehingga akhirnya mereka dapat diam di tanah terjanji. Esensi karya keselamatan Allah tersebut berbeda dengan para ilah yang telah disembah oleh nenek-moyang dan ayah Abraham yakni Terah atau ilah bangsa Amori. Sebab para ilah tersebut sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa untuk menolong atau menyelamatkan umat Israel. Bahkan para ilah tersebut dalam praktek justru mendorong mereka untuk mengorbankan anak-anak mereka sebagai persembahan. Para ilah itu juga melumpuhkan mereka untuk menemukan kebenaran. Tetapi tidaklah demikian sikap Allah, yakni Yahweh. Dia menampilkan diriNya sebagai Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih-setia. Yahweh, Allah Israel selalu bertindak menyelamatkan sehingga mereka dapat menemukan kebenaran yang membebaskan. Dengan merefleksikan karya Allah yang pernah terjadi sampai kini, Yosua berhasil menuntun para pemuka dan umat Israel kepada suatu pencerahan iman. Karya Allah tidak lagi dipahami oleh umat secara doktriner, tetapi sebagai sesuatu yang eksistensial dan faktual dalam kehidupan mereka. Sehingga dengan pemahaman iman yang demikian, para pemuka dan umat Israel diajak untuk menjalin relasi yang personal dengan Allah. Tepatnya Allah dan karyaNya tidak lagi dipahami sebagai serangkaian konsep-konsep doktrin yang deterministis, tetapi sebaliknya sebagai jejak peristiwa penyataanNya Allah berkenan senantiasa hadir dalam kehidupan umatNya. Itu sebabnya Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang hidup dan berelasi dengan umatNya.

Karena Yahweh adalah Allah yang hidup, maka Dia membutuhkan respon umatNya dengan sikap bebas. Melalui mulut Yosua, Allah memanggil umatNya untuk menentukan sikap apakah mereka bersedia beribadah hanya kepadaNya ataukah kepada ilah-ilah lain. Umat Israel boleh memilih tawaran tersebut secara bebas. Mereka boleh memilih untuk beribadah menyembah kepada Allah, atau sebaliknya juga boleh memilih untuk beribadah menyembah kepada para ilah nenek-moyang Abraham dan bangsa Amori. Tawaran yang diajukan oleh Yosua tersebut tidak boleh direspon oleh umat Israel dengan suatu “keterpaksaan”. Iman kepada Allah adalah suatu anugerah sekaligus suatu jawaban atas anugerah Allah. Sehingga tidaklah tepat ungkapan “sola fidei” (hanya oleh iman) dimengerti secara sepihak saja. Manusia juga harus merespon anugerah Allah yaitu anugerah iman kepada Kristus. Namun ketika manusia mau merespon iman yang dianugerahkan, maka dia telah memilih untuk dipimpin oleh Allah. Dia memilih dipenuhi oleh anugerah Allah yang akan memampukan dia untuk hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Sebaliknya ketika manusia memilih untuk menolak dan meninggalkan Allah, dia telah menentukan sikap untuk dikuasai oleh para ilah yang disembahnya. Jadi pilihan dan keputusan etis-iman manusia menentukan arah dan tujuan hidupnya. Jikalau dia sungguh-sungguh mau menghayati panggilan untuk menjadi gambar dan rupa Allah, pastilah dengan kehendak bebasnya dia akan memilih untuk dipimpin oleh Allah. Tetapi jikalau dia cenderung untuk menjadi gambar dan rupa dunia, maka dengan kehendak bebasnya pula dia memilih untuk menjauh dan meninggalkan Allah yang hidup. Dia akan lebih tertarik kepada setiap konsep, nilai-nilai dan pola ibadah yang mempermuliakan para ilah dunia ini.

Pilihan Yang Otentik
Saat Yosua mengajukan tantangan kepada para pemuka dan pemimpin umat Israel untuk memilih Allah atau para ilah sebenarnya terbuka kemungkinan suatu jawaban negatif. Para pemuka dan pemimpin Israel saat itu juga dapat memilih para ilah dengan menolak Allah. Sebab bukankah saat itu Yosua sudah lanjut usia, bahkan dia telah mendekati ajalnya? Dengan kondisi fisik yang mulai melemah, tentu Yosua tidak akan mampu melawan mereka. Jadi seandainya para pemuka dan pemimpin umat Israel saat itu sepakat untuk menentang Yosua, maka Yosua tidak akan mampu berbuat banyak. Namun menakjubkan sebab ternyata Yosua tidak menunggu bagaimana sikap para pemuka dan pemimpin umat Israel terhadap tantangannya untuk memilih Yahweh ataukah para ilah. Yosua dengan tegas menyatakan sikapnya, yaitu: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15). Dengan pernyataan ini Yosua memperlihatkan bahwa sikap pilihannya untuk menyembah Yahweh sama sekali tidak tergantung oleh sikap dan keputusan yang akan diambil oleh para pemuka dan pemimpin umat Israel. Pilihan Yosua untuk menyembah Allah adalah pilihan etis-imannya yang mandiri. Walaupun secara fisik Yosua saat itu telah lemah, tetapi kualitas rohani atau spiritualitas imannya tetap kokoh. Dia dan keluarganya telah memilih untuk menyerahkan diri kepada Allah karena didasari oleh sikap percaya yang otentik. Mereka percaya kepada Yahweh bukan karena desakan atau “trend” yang sedang berkembang. Tepatnya Yosua dan keluarganya beriman kepada Yahweh tidak dipengaruhi oleh sikap pilihan orang lain. Iman dan kesetiaan mereka lahir dari kehendak yang bebas. Karena itu kualitas iman yang lahir dari kehendak bebas senantiasa menggugah, inspiratif dan menggerakkan motivasi kepada banyak orang untuk meneladaninya.

Saat umat Kristen hidup di tengah-tengah kelompok agama yang mayoritas sering mereka mengalami “syndrome minority complex”. Maksud dari “syndrome minority complex” adalah sikap mental yang menganggap diri serba tidak berdaya sehingga mereka mengalami perasaan frustrasi dengan identitas diri atau kepercayaannya. Itu sebabnya orang-orang yang mengidap ““syndrome minority complex” akan memilih untuk menyembunyikan identitas diri atau kepercayaannya di hadapan publik. Mereka akan memilih untuk selalu berada di posisi “grey area” atau posisi yang aman (comfort zone). Kalau pada akhirnya mereka merasa tetap terancam dan tidak nyaman dengan identitas diri atau kepercayaannya, maka mereka akan pindah agama. Seandainya mereka semula umat Kristen, maka mereka akan memilih untuk meninggalkan Kristus. Jadi siapapun yang pindah agama karena mengidap ““syndrome minority complex” sebenarnya berasal dari kelompok orang yang tidak sanggup untuk membuat pilihan etis-iman yang otentik dan mandiri. Mereka memiliki masalah psikologis yang kompleks sehingga berhasil meruntuhkan nilai-nilai hidup yang prinsipial. Karena itu tidak mengherankan jikalau orang-orang yang menderita “syndrome minority complex” dengan cara pindah agama sering disebut sebagai “bunglon rohani”. Umumnya mereka akan tampil percaya diri dengan cara menyerang dan mendiskreditkan agamanya yang lama. Mereka juga akan memperlihatkan kepercayaan barunya dengan lebih agresif dan fanatik melebihi sikap umat pada umumnya. Dengan mempertimbangkan kompleks minoritas yang tidak sehat, maka tidaklah bijaksana jika kita justru memberi tempat dan kesempatan bagi mereka untuk bersaksi di hadapan jemaat. Karena mereka pasti akan menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarkan sikap kebencian terhadap agamanya yang lama. Padahal kita tahu bahwa pertobatan dan sikap percaya kepada Kristus senantiasa ditandai oleh pembaharuan karakter atau manusia lama yang sangat signifikan. Pertobatan dan sikap percaya kepada Kristus justru ditandai oleh kesaksian hidup yang dipenuhi oleh kasih Allah, bukan dilandasi oleh kemarahan dan kebencian kepada orang lain.

Dengan demikian jelaslah bahwa keputusan dan pilihan yang otentik hanya terjadi jikalau kita memiliki kehendak bebas yang lahir dari pertobatan. Tanpa sikap pertobatan, maka pilihan dan keputusan etis kita akan cenderung untuk menyukakan hati diri sendiri dan orang lain dari pada menyukakan hati Allah. Ini berarti sikap pertobatan bukan peristiwa yang sekali jadi dalam kehidupan umat percaya. Kita perlu menghayati makna pertobatan atau pembaharuan hidup dalam setiap momen dalam kehidupan kita. Karena dalam setiap momen kehidupan, kita harus selalu memilih dan mengambil keputusan. Apakah pilihan dan keputusan yang diambil adalah sikap etis yang dilandasi oleh iman, ataukah suatu pilihan dan keputusan yang justru bertentangan secara etis-iman. Pilihan otentik kita terhadap Kristus bukan hanya dilakukan saat kita mengaku iman dengan mengucapkan “Pengakuan Iman Rasuli” dalam kebaktian; tetapi juga saat kita bekerja, berkomunikasi, berada di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, bahkan saat kita sedang merenung dan berpikir. Lebih dalam lagi, kualitas pilihan otentik terhadap kebenaran dan keselamatan Kristus seharusnya ditentukan oleh kuasa panggilanNya dari pada ditentukan oleh tekanan orang banyak atau sikap mayoritas di sekeliling kita. Semakin kita memiliki pilihan iman yang otentik dan mandiri, maka semakin besar pula pengaruhnya kepada anggota keluarga dan masyarakat. Sebab pilihan iman yang otentik dan mandiri akan memancarkan kebeningan hati yang lahir dari pembaharuan hidup oleh kuasa Kristus.

Ditopang Dengan Senjata Rohani
Setiap umat percaya pada hakikatnya terdorong untuk selalu memilih yang terbaik, yang benar dan suci. Namun pada sisi lain juga disadari bahwa pilihan tersebut dalam praktek hidup sering gagal. Kita sering bergulat secara rohani seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus, yaitu: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rom. 7:17). Jika demikian pilihan atau keputusan etis yang harus kita ambil tidaklah mudah seperti seseorang membalikkan tangan walapun dia seorang yang beriman dan mengasihi Tuhan. Pilihan etis-iman kita perlu ditopang oleh perlengkapan senjata rohani. Sebab pilihan etis-iman dalam kehidupan sehari-hari menempatkan diri kita dalam peperangan rohani. Rasul Paulus berkata: “karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12). Dalam konteks ini terlihat dengan jelas bahwa pemahaman kehendak bebas yang diusung oleh pandangan “inkompatiblisme” tidaklah memadai. Dalam pandangan “inkompatibilisme” menempatkan manusia sebagai subyek yang paling menentukan untuk membuat pilihan etis dengan kehendak bebasnya. Padahal sejarah telah membuktikan rangkaian berbagai kegagalan manusia dengan kehendak bebasnya seperti peristiwa holocaust, dalam Perang Dunia II, pembantaian massal di berbagai tempat, berbagai konflik dan peperangan. Tanpa perlengkapan senjata rohani yang memadai, mustahil kita dapat memenangkan peperangan rohani tersebut. Tepatnya pilihan etis-iman bukan sekedar kesadaran yang tahu dan mampu membedakan apa yang baik dan yang jahat, yang najis dan yang suci; tetapi juga kita harus mengalahkan kuasa dosa yang ada di dalam diri kita. Dan pada pihak lain kuasa dosa yang ada di dalam diri kita juga menjadi alat yang efektif dari kuasa kegelapan untuk mencapai tujuannya.

Kuasa kegelapan sering berupaya membutakan mata-rohani kita untuk menerima Kristus selaku Juru-selamat. Mungkin kebanyakan orang di dunia ini bersedia menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai seorang guru, nabi atau orang yang berhikmat. Tetapi saat mereka diminta untuk memilih Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat, maka mereka memilih untuk menolak dan meninggalkanNya. Demikian pula yang terjadi dengan para murid Yesus yang disaksikan di Yoh. 6 saat Dia menyatakan diriNya sebagai Roti Hidup. Mereka berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" (Yoh. 6:60). Kemudian disebutkan di Yoh. 6:66, yaitu: “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia”. Karena itu pilihan yang paling aman bagi kita di tengah-tengah masyarakat adalah mengakui Kristus bukan sebagai Tuhan dan Juru-selamat, tetapi hanya sebagai seorang nabi. Sebab dengan pengakuan itu kita akan mudah diterima oleh kebanyakan anggota masyarakat. Padahal pengakuan iman yang lahir dari pilihan etis yang otentik selalu membutuhkan keberanian menyatakan kebenaran. Pilihan etis yang otentik hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah memperoleh pencerahan dari Roh Kudus sehingga mereka bersedia meninggalkan zona amannya. Sikap iman yang demikian dinyatakan oleh Petrus, saat Tuhan Yesus menantang Petrus apakah dia juga akan meninggalkanNya. Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah" (Yoh. 6:68-69). Otentisitas dan keberanian orang-orang seperti Petrus untuk mengaku bahwa Yesus sebagai satu-satunya Yang Kudus dari Allah dapat terjadi bilamana kehidupan mereka selalu diperlengkapi dengan senjata rohani. Di Ef. 6:13 rasul Paulus berkata: “Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu”.

Konteks ucapan rasul Paulus saat dia menggunakan istilah “seluruh perlengkapan senjata Allah” tentu dilatar-belakangi oleh pengetahuannya tentang sistem militer pada zaman itu yaitu bagaimana para prajurit Romawi diperlengkapi saat mereka bertugas. Para prajurit Romawi pasti mengenakan ketopong di kepalanya, pedang yang terikat di ikat pinggang, perisai, sepatu prajurit dan beberapa perlengkapan lainnya. Semua perlengkapan senjata tersebut selalu lengkap sehingga mereka dapat menggunakan setiap saat secara efektif. Sehingga manakala mereka berhadapan dengan musuh atau bahaya, maka dengan mudah mereka dapat mengalahkannya. Bukankah seharusnya kehidupan umat percaya seperti seorang prajurit yang sedang bertugas? Umat percaya seharusnya memiliki seluruh perlengkapan senjata rohani, sehingga mereka dapat membuat pilihan dan keputusan etis-iman yang efektif saat berhadapan dengan manifestasi kuasa kegelapan. Pilihan dan keputusan etis kita sering mandul karena kita lalai melengkapinya dengan persenjataan rohani yang memadai. Itu sebabnya pilihan dan keputusan etis-iman kita mudah dipengaruhi dan dibelokkan menurut kemauan kuasa dunia. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kita percaya bahwa Kristus adalah Tuhan, tetapi gagal kita terapkan saat hawa-nafsu sedang menguasai kita. Kita juga mengimani Kristus sebagai satu-satunya yang Kudus dari Allah, tetapi kita malu mengakuiNya di tengah-tengah “tekanan” psikologis dan konsep anggota masyarakat yang menolak Dia. Kita juga mengetahui bahwa suatu tindakan yang disengaja merupakan bentuk perlawanan kepada Allah dan akan melukai hatiNya, tetapi ternyata kita sangat sulit untuk memilih setia kepadaNya.

Panggilan
Kita hidup di tengah-tengah permasalahan hidup yang sangat beragam dan kompleks. Karena itu tidaklah mudah bagi kita untuk senantiasa membuat pilihan etis-iman yang benar. Begitu banyak tawaran dan godaan yang sangat menggiurkan sekaligus membingungkan. Kita sering melihat betapa tipisnya jarak antara kebenaran dan kesesatan. Apabila kita hanya mengandalkan kepada kemampuan akal-budi, pemikiran dan spiritualitas yang kita miliki niscaya kita akan terperosok untuk menyembah kepada ilah-ilah zaman ini. Kita membutuhkan pertolongan dan kuasa Kristus, sehingga kita berkata seperti Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah" (Yoh. 6:68-69). Jadi apabila hidup adalah pilihan, dan yang ingin kita pilih adalah kehendak Allah maka setiap kita tanpa kecuali membutuhkan perlengkapan senjata rohani. Jika demikian, apakah kehidupan saudara telah dilengkapi dengan perlengkapan senjata rohani dari Allah? Kita yakin apabila telah diperlengkapi dengan perlengkapan senjatara rohani, maka kita dimampukan untuk selalu memilih dan memutuskan apa yang benar di hadapan Allah sehingga kita memiliki keberanian menyatakan sikap iman. Permohonan rasul Paulus adalah: “Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara” (Ef. 6:20). Bagaimana dengan sikap saudara? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com