Sabtu, 22 Agustus 2009

HIDUP SEBAGAI PILIHAN

Yos. 24:1-2, 14-18; Mzm. 34:16-23; Ef. 6:10-20; Yoh. 6:56-69

Pengantar
Esensi hidup yang terjalin dalam rangkaian pilihan etis-iman akan menjadi muskil ketika pola pemahamannya didasari oleh sikap yang deterministik. Sebab dalam pandangan yang deterministik pada prinsipnya meniadakan kemungkinan kehendak bebas dalam kehidupan manusia. Pandangan deterministisme menegaskan bahwa semua aktivitas, termasuk pilihan moral, sepenuhnya telah ditentukan oleh kehendak Allah sebelumnya. Karena segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, maka manusia hanya melakukan apa yang telah ditakdirkan. Sehingga dalam konteks tersebut manusia tidak memiliki kehendak bebas untuk membuat pilihan. Kalau seandainya manusia membuat suatu pilihan, maka dalam pandangan determinisme hanya akan dianggap sebagai suatu sikap yang telah ditakdirkan dari Allah. Hakikat manusia dalam pandangan determinisme hanya dipandang seperti boneka atau wayang yang gerakan dan tingkah-lakunya diatur oleh kemauan sang dalang. Jadi yang menjadi “subyek” dalam arti sebenarnya hanyalah sang dalang, yaitu Allah. Sedangkan manusia hanyalah sekedar alat atau obyek yang tidak memiliki kehendak bebas untuk mempertanggungjawabkan sikapnya. Dengan demikian peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang sebenarnya hanya merupakan ketentuan takdir. Kehidupan setiap orang dalam pengertian determinisme pada prinsipnya telah memiliki garis nasibnya masing-masing, dan mereka tidak mampu mengelaknya. Jelas sikap determinisme identik dengan fatalisme yang menyebabkan manusia tidak mampu bertanggungjawab secara etis dan iman. Karena itu pandangan determinisme tidaklah memadai untuk menjawab masalah hidup sebagai pilihan. Muncullah kelompok yang menolak pandangan determinisme sebab hanya mendorong manusia untuk bersikap pasif dan pasrah kepada takdir ilahi. Kelompok yang menolak pandangan determinisme ini sering disebut dengan “inkompatiblisme” (ketidakterpaksaan). Sebab dalam pemahaman “ketidakterpaksaan” memberi tempat kepada manusia untuk menentukan dan mempertanggungjawabkan kehendak bebasnya (free-will). Jadi dalam pemahaman “inkompatiblisme” menegaskan bahwa melalui kehendak bebasnya, manusia justru dimampukan untuk memaknai dan mengaktulisasi dirinya melalui keputusan atau pilihan etisnya.



Kehendak bebas dalam iman Kristen dihayati sebagai suatu anugerah yang dikaruniakan oleh Allah. Sebagai wujud dari anugerah Allah, maka esensi kehendak bebas pada hakikatnya memiliki tujuan yang luhur. Sebab melalui karunia tersebut, Allah telah menempatkan manusia sebagai mahluk yang mampu memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan sikap. Kesaksian di Kej. 1:26 secara lebih spesifik menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya. Dengan demikian selaku mandataris Allah, manusia selaku pemegang mandatNya dipercaya untuk mengelola kehidupan ini dan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Sehingga dalam setiap pilihan dan keputusan etisnya, kehidupan manusia seharusnya senantiasa mencerminkan sifat-sifat atau karakter Allah. Dengan demikian makna hidup sebagai pilihan sebagai wujud dari kehendak bebas tidak boleh terlepas dari panggilan manusia untuk menjadi gambar dan rupa Allah. Kehendak bebas hanya akan menjadi “kehendak bebas” manakala senantiasa didasari oleh panggilan untuk hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Justru di sinilah masalahnya. Karena dalam praktek hidup justru kehendak bebas manusia sering dipisahkan dari panggilannya sebagai gambar dan rupa Allah. Akibatnya yang terjadi adalah suatu bentuk kehendak bebas yang tanpa nilai etis, moral dan iman. Dalam konteks ini makna hidup sebagai pilihan justru dihayati sebagai pilihan bebas untuk berbuat dosa. Makna hidup sebagai pilihan dipandang mereka sebagai kesempatan untuk berbuat dosa apa saja. Dengan demikian sikap “inkompatibilisme” (ketidakterpaksaan) saja tidaklah cukup! Sebab yang menjadi tekanan utama dalam paham “inkompatibilisme” adalah kehendak bebas manusia berperan. Apakah memang benar kita bebas untuk memilih apa yang jahat? Hukum sekuler telah membuktikan, siapa yang sengaja atau memilih melakukan apa yang jahat akan segera dikenai sanksi. Tepatnya siapapun yang secara sengaja dan merencanakan tindak kejahatan, maka mereka akan menerima hukuman. Jadi sebenarnya setiap orang tidak bebas untuk memilih apa yang jahat, kecuali mereka siap untuk menanggung risikonya. Jadi umat manusia hanya bebas untuk melakukan apa yang benar dan baik. Jika demikian, bagaimanakah agar kita dapat mewujudkan suatu pilihan dan keputusan yang benar di hadapan Allah dan sesama dalam kehidupan ini?

Relasi, Bukan Doktrin
Sebagaimana telah kita bahas bahwa makna hidup sebagai pilihan dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu pilihan sebagai sikap yang telah ditentukan oleh takdir (determinisme), dan pilihan sebagai hasil kehendak bebas (inkompatiblisme). Yang mana kedua sikap tersebut tidaklah memadai. Sikap pilihan yang deterministik akan menyebabkan manusia hanya mampu menghayati kebenaran dan kehendak Allah secara doktriner. Pilihan dan keputusan etis yang diambil didasarkan kepada rumusan-rumusan doktrin yang pernah mereka terima tanpa pemahaman yang substansial. Mereka membuat keputusan etis-iman karena mereka memang tidak mampu berbuat lain atau bertindak sesuai dengan kesadaran yang sesungguhnya. Sehingga seluruh tindakan, plihan dan keputusan mereka terjadi secara mekanis - tanpa refleksi etis dan iman. Mereka hanya meneruskan apa yang telah mereka dengar dan yang diajarkan oleh orang-tua mereka. Dengan kualitas iman yang doktriner, maka mereka tidak akan mampu menghadapi berbagai perubahan, perkembangan dan tantangan hidup. Di kitab Yos. 24:1 menyaksikan bagaimana saat Yosua telah lanjut usia, dia mengumpulkan para tua-tua orang Israel, para kepalanya, para hakimnya dan para pengatur pasukannya di Sikhem. Pertemuan yang diadakan oleh Yosua di Sikhem tersebut pada hakikatnya untuk merefleksikan ulang karya keselamatan Allah yang telah terjadi sampai mereka mendiami tanah terjanji. Yosua tidak menginginkan umat Israel meninggalkan Allah dengan berpaling kepada ilah-ilah lain saat dia meninggal. Karya keselamatan Allah yang pernah terjadi perlu direspon secara aktual oleh umat Israel. Iman yang tangguh perlu selalu diaktualkan agar bebas dari kebekuan sikap doktriner. Itu sebabnya di Yosua mengajukan pertanyaan agar mereka membuat pilihan dan keputusan, yaitu: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15).

Tantangan yang diajukan oleh Yosua kepada umat Israel tersebut bukan suatu bentuk dari sikap doktriner atau pemaksaan dengan suatu ancaman; tetapi merupakan hasil dari suatu refleksi iman yang faktual. Yosua memaparkan secara rinci bagaimana Allah telah berkarya dalam kehidupan nenek-moyang mereka yakni Abraham sampai Musa yang dilanjutkan dengan pertolongan Allah sehingga akhirnya mereka dapat diam di tanah terjanji. Esensi karya keselamatan Allah tersebut berbeda dengan para ilah yang telah disembah oleh nenek-moyang dan ayah Abraham yakni Terah atau ilah bangsa Amori. Sebab para ilah tersebut sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa untuk menolong atau menyelamatkan umat Israel. Bahkan para ilah tersebut dalam praktek justru mendorong mereka untuk mengorbankan anak-anak mereka sebagai persembahan. Para ilah itu juga melumpuhkan mereka untuk menemukan kebenaran. Tetapi tidaklah demikian sikap Allah, yakni Yahweh. Dia menampilkan diriNya sebagai Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih-setia. Yahweh, Allah Israel selalu bertindak menyelamatkan sehingga mereka dapat menemukan kebenaran yang membebaskan. Dengan merefleksikan karya Allah yang pernah terjadi sampai kini, Yosua berhasil menuntun para pemuka dan umat Israel kepada suatu pencerahan iman. Karya Allah tidak lagi dipahami oleh umat secara doktriner, tetapi sebagai sesuatu yang eksistensial dan faktual dalam kehidupan mereka. Sehingga dengan pemahaman iman yang demikian, para pemuka dan umat Israel diajak untuk menjalin relasi yang personal dengan Allah. Tepatnya Allah dan karyaNya tidak lagi dipahami sebagai serangkaian konsep-konsep doktrin yang deterministis, tetapi sebaliknya sebagai jejak peristiwa penyataanNya Allah berkenan senantiasa hadir dalam kehidupan umatNya. Itu sebabnya Allah yang bernama Yahweh adalah Allah yang hidup dan berelasi dengan umatNya.

Karena Yahweh adalah Allah yang hidup, maka Dia membutuhkan respon umatNya dengan sikap bebas. Melalui mulut Yosua, Allah memanggil umatNya untuk menentukan sikap apakah mereka bersedia beribadah hanya kepadaNya ataukah kepada ilah-ilah lain. Umat Israel boleh memilih tawaran tersebut secara bebas. Mereka boleh memilih untuk beribadah menyembah kepada Allah, atau sebaliknya juga boleh memilih untuk beribadah menyembah kepada para ilah nenek-moyang Abraham dan bangsa Amori. Tawaran yang diajukan oleh Yosua tersebut tidak boleh direspon oleh umat Israel dengan suatu “keterpaksaan”. Iman kepada Allah adalah suatu anugerah sekaligus suatu jawaban atas anugerah Allah. Sehingga tidaklah tepat ungkapan “sola fidei” (hanya oleh iman) dimengerti secara sepihak saja. Manusia juga harus merespon anugerah Allah yaitu anugerah iman kepada Kristus. Namun ketika manusia mau merespon iman yang dianugerahkan, maka dia telah memilih untuk dipimpin oleh Allah. Dia memilih dipenuhi oleh anugerah Allah yang akan memampukan dia untuk hidup sebagai gambar dan rupa Allah. Sebaliknya ketika manusia memilih untuk menolak dan meninggalkan Allah, dia telah menentukan sikap untuk dikuasai oleh para ilah yang disembahnya. Jadi pilihan dan keputusan etis-iman manusia menentukan arah dan tujuan hidupnya. Jikalau dia sungguh-sungguh mau menghayati panggilan untuk menjadi gambar dan rupa Allah, pastilah dengan kehendak bebasnya dia akan memilih untuk dipimpin oleh Allah. Tetapi jikalau dia cenderung untuk menjadi gambar dan rupa dunia, maka dengan kehendak bebasnya pula dia memilih untuk menjauh dan meninggalkan Allah yang hidup. Dia akan lebih tertarik kepada setiap konsep, nilai-nilai dan pola ibadah yang mempermuliakan para ilah dunia ini.

Pilihan Yang Otentik
Saat Yosua mengajukan tantangan kepada para pemuka dan pemimpin umat Israel untuk memilih Allah atau para ilah sebenarnya terbuka kemungkinan suatu jawaban negatif. Para pemuka dan pemimpin Israel saat itu juga dapat memilih para ilah dengan menolak Allah. Sebab bukankah saat itu Yosua sudah lanjut usia, bahkan dia telah mendekati ajalnya? Dengan kondisi fisik yang mulai melemah, tentu Yosua tidak akan mampu melawan mereka. Jadi seandainya para pemuka dan pemimpin umat Israel saat itu sepakat untuk menentang Yosua, maka Yosua tidak akan mampu berbuat banyak. Namun menakjubkan sebab ternyata Yosua tidak menunggu bagaimana sikap para pemuka dan pemimpin umat Israel terhadap tantangannya untuk memilih Yahweh ataukah para ilah. Yosua dengan tegas menyatakan sikapnya, yaitu: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15). Dengan pernyataan ini Yosua memperlihatkan bahwa sikap pilihannya untuk menyembah Yahweh sama sekali tidak tergantung oleh sikap dan keputusan yang akan diambil oleh para pemuka dan pemimpin umat Israel. Pilihan Yosua untuk menyembah Allah adalah pilihan etis-imannya yang mandiri. Walaupun secara fisik Yosua saat itu telah lemah, tetapi kualitas rohani atau spiritualitas imannya tetap kokoh. Dia dan keluarganya telah memilih untuk menyerahkan diri kepada Allah karena didasari oleh sikap percaya yang otentik. Mereka percaya kepada Yahweh bukan karena desakan atau “trend” yang sedang berkembang. Tepatnya Yosua dan keluarganya beriman kepada Yahweh tidak dipengaruhi oleh sikap pilihan orang lain. Iman dan kesetiaan mereka lahir dari kehendak yang bebas. Karena itu kualitas iman yang lahir dari kehendak bebas senantiasa menggugah, inspiratif dan menggerakkan motivasi kepada banyak orang untuk meneladaninya.

Saat umat Kristen hidup di tengah-tengah kelompok agama yang mayoritas sering mereka mengalami “syndrome minority complex”. Maksud dari “syndrome minority complex” adalah sikap mental yang menganggap diri serba tidak berdaya sehingga mereka mengalami perasaan frustrasi dengan identitas diri atau kepercayaannya. Itu sebabnya orang-orang yang mengidap ““syndrome minority complex” akan memilih untuk menyembunyikan identitas diri atau kepercayaannya di hadapan publik. Mereka akan memilih untuk selalu berada di posisi “grey area” atau posisi yang aman (comfort zone). Kalau pada akhirnya mereka merasa tetap terancam dan tidak nyaman dengan identitas diri atau kepercayaannya, maka mereka akan pindah agama. Seandainya mereka semula umat Kristen, maka mereka akan memilih untuk meninggalkan Kristus. Jadi siapapun yang pindah agama karena mengidap ““syndrome minority complex” sebenarnya berasal dari kelompok orang yang tidak sanggup untuk membuat pilihan etis-iman yang otentik dan mandiri. Mereka memiliki masalah psikologis yang kompleks sehingga berhasil meruntuhkan nilai-nilai hidup yang prinsipial. Karena itu tidak mengherankan jikalau orang-orang yang menderita “syndrome minority complex” dengan cara pindah agama sering disebut sebagai “bunglon rohani”. Umumnya mereka akan tampil percaya diri dengan cara menyerang dan mendiskreditkan agamanya yang lama. Mereka juga akan memperlihatkan kepercayaan barunya dengan lebih agresif dan fanatik melebihi sikap umat pada umumnya. Dengan mempertimbangkan kompleks minoritas yang tidak sehat, maka tidaklah bijaksana jika kita justru memberi tempat dan kesempatan bagi mereka untuk bersaksi di hadapan jemaat. Karena mereka pasti akan menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarkan sikap kebencian terhadap agamanya yang lama. Padahal kita tahu bahwa pertobatan dan sikap percaya kepada Kristus senantiasa ditandai oleh pembaharuan karakter atau manusia lama yang sangat signifikan. Pertobatan dan sikap percaya kepada Kristus justru ditandai oleh kesaksian hidup yang dipenuhi oleh kasih Allah, bukan dilandasi oleh kemarahan dan kebencian kepada orang lain.

Dengan demikian jelaslah bahwa keputusan dan pilihan yang otentik hanya terjadi jikalau kita memiliki kehendak bebas yang lahir dari pertobatan. Tanpa sikap pertobatan, maka pilihan dan keputusan etis kita akan cenderung untuk menyukakan hati diri sendiri dan orang lain dari pada menyukakan hati Allah. Ini berarti sikap pertobatan bukan peristiwa yang sekali jadi dalam kehidupan umat percaya. Kita perlu menghayati makna pertobatan atau pembaharuan hidup dalam setiap momen dalam kehidupan kita. Karena dalam setiap momen kehidupan, kita harus selalu memilih dan mengambil keputusan. Apakah pilihan dan keputusan yang diambil adalah sikap etis yang dilandasi oleh iman, ataukah suatu pilihan dan keputusan yang justru bertentangan secara etis-iman. Pilihan otentik kita terhadap Kristus bukan hanya dilakukan saat kita mengaku iman dengan mengucapkan “Pengakuan Iman Rasuli” dalam kebaktian; tetapi juga saat kita bekerja, berkomunikasi, berada di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, bahkan saat kita sedang merenung dan berpikir. Lebih dalam lagi, kualitas pilihan otentik terhadap kebenaran dan keselamatan Kristus seharusnya ditentukan oleh kuasa panggilanNya dari pada ditentukan oleh tekanan orang banyak atau sikap mayoritas di sekeliling kita. Semakin kita memiliki pilihan iman yang otentik dan mandiri, maka semakin besar pula pengaruhnya kepada anggota keluarga dan masyarakat. Sebab pilihan iman yang otentik dan mandiri akan memancarkan kebeningan hati yang lahir dari pembaharuan hidup oleh kuasa Kristus.

Ditopang Dengan Senjata Rohani
Setiap umat percaya pada hakikatnya terdorong untuk selalu memilih yang terbaik, yang benar dan suci. Namun pada sisi lain juga disadari bahwa pilihan tersebut dalam praktek hidup sering gagal. Kita sering bergulat secara rohani seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus, yaitu: “Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rom. 7:17). Jika demikian pilihan atau keputusan etis yang harus kita ambil tidaklah mudah seperti seseorang membalikkan tangan walapun dia seorang yang beriman dan mengasihi Tuhan. Pilihan etis-iman kita perlu ditopang oleh perlengkapan senjata rohani. Sebab pilihan etis-iman dalam kehidupan sehari-hari menempatkan diri kita dalam peperangan rohani. Rasul Paulus berkata: “karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12). Dalam konteks ini terlihat dengan jelas bahwa pemahaman kehendak bebas yang diusung oleh pandangan “inkompatiblisme” tidaklah memadai. Dalam pandangan “inkompatibilisme” menempatkan manusia sebagai subyek yang paling menentukan untuk membuat pilihan etis dengan kehendak bebasnya. Padahal sejarah telah membuktikan rangkaian berbagai kegagalan manusia dengan kehendak bebasnya seperti peristiwa holocaust, dalam Perang Dunia II, pembantaian massal di berbagai tempat, berbagai konflik dan peperangan. Tanpa perlengkapan senjata rohani yang memadai, mustahil kita dapat memenangkan peperangan rohani tersebut. Tepatnya pilihan etis-iman bukan sekedar kesadaran yang tahu dan mampu membedakan apa yang baik dan yang jahat, yang najis dan yang suci; tetapi juga kita harus mengalahkan kuasa dosa yang ada di dalam diri kita. Dan pada pihak lain kuasa dosa yang ada di dalam diri kita juga menjadi alat yang efektif dari kuasa kegelapan untuk mencapai tujuannya.

Kuasa kegelapan sering berupaya membutakan mata-rohani kita untuk menerima Kristus selaku Juru-selamat. Mungkin kebanyakan orang di dunia ini bersedia menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai seorang guru, nabi atau orang yang berhikmat. Tetapi saat mereka diminta untuk memilih Kristus selaku Tuhan dan Juru-selamat, maka mereka memilih untuk menolak dan meninggalkanNya. Demikian pula yang terjadi dengan para murid Yesus yang disaksikan di Yoh. 6 saat Dia menyatakan diriNya sebagai Roti Hidup. Mereka berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" (Yoh. 6:60). Kemudian disebutkan di Yoh. 6:66, yaitu: “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia”. Karena itu pilihan yang paling aman bagi kita di tengah-tengah masyarakat adalah mengakui Kristus bukan sebagai Tuhan dan Juru-selamat, tetapi hanya sebagai seorang nabi. Sebab dengan pengakuan itu kita akan mudah diterima oleh kebanyakan anggota masyarakat. Padahal pengakuan iman yang lahir dari pilihan etis yang otentik selalu membutuhkan keberanian menyatakan kebenaran. Pilihan etis yang otentik hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah memperoleh pencerahan dari Roh Kudus sehingga mereka bersedia meninggalkan zona amannya. Sikap iman yang demikian dinyatakan oleh Petrus, saat Tuhan Yesus menantang Petrus apakah dia juga akan meninggalkanNya. Petrus menjawab: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah" (Yoh. 6:68-69). Otentisitas dan keberanian orang-orang seperti Petrus untuk mengaku bahwa Yesus sebagai satu-satunya Yang Kudus dari Allah dapat terjadi bilamana kehidupan mereka selalu diperlengkapi dengan senjata rohani. Di Ef. 6:13 rasul Paulus berkata: “Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu”.

Konteks ucapan rasul Paulus saat dia menggunakan istilah “seluruh perlengkapan senjata Allah” tentu dilatar-belakangi oleh pengetahuannya tentang sistem militer pada zaman itu yaitu bagaimana para prajurit Romawi diperlengkapi saat mereka bertugas. Para prajurit Romawi pasti mengenakan ketopong di kepalanya, pedang yang terikat di ikat pinggang, perisai, sepatu prajurit dan beberapa perlengkapan lainnya. Semua perlengkapan senjata tersebut selalu lengkap sehingga mereka dapat menggunakan setiap saat secara efektif. Sehingga manakala mereka berhadapan dengan musuh atau bahaya, maka dengan mudah mereka dapat mengalahkannya. Bukankah seharusnya kehidupan umat percaya seperti seorang prajurit yang sedang bertugas? Umat percaya seharusnya memiliki seluruh perlengkapan senjata rohani, sehingga mereka dapat membuat pilihan dan keputusan etis-iman yang efektif saat berhadapan dengan manifestasi kuasa kegelapan. Pilihan dan keputusan etis kita sering mandul karena kita lalai melengkapinya dengan persenjataan rohani yang memadai. Itu sebabnya pilihan dan keputusan etis-iman kita mudah dipengaruhi dan dibelokkan menurut kemauan kuasa dunia. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kita percaya bahwa Kristus adalah Tuhan, tetapi gagal kita terapkan saat hawa-nafsu sedang menguasai kita. Kita juga mengimani Kristus sebagai satu-satunya yang Kudus dari Allah, tetapi kita malu mengakuiNya di tengah-tengah “tekanan” psikologis dan konsep anggota masyarakat yang menolak Dia. Kita juga mengetahui bahwa suatu tindakan yang disengaja merupakan bentuk perlawanan kepada Allah dan akan melukai hatiNya, tetapi ternyata kita sangat sulit untuk memilih setia kepadaNya.

Panggilan
Kita hidup di tengah-tengah permasalahan hidup yang sangat beragam dan kompleks. Karena itu tidaklah mudah bagi kita untuk senantiasa membuat pilihan etis-iman yang benar. Begitu banyak tawaran dan godaan yang sangat menggiurkan sekaligus membingungkan. Kita sering melihat betapa tipisnya jarak antara kebenaran dan kesesatan. Apabila kita hanya mengandalkan kepada kemampuan akal-budi, pemikiran dan spiritualitas yang kita miliki niscaya kita akan terperosok untuk menyembah kepada ilah-ilah zaman ini. Kita membutuhkan pertolongan dan kuasa Kristus, sehingga kita berkata seperti Petrus: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah" (Yoh. 6:68-69). Jadi apabila hidup adalah pilihan, dan yang ingin kita pilih adalah kehendak Allah maka setiap kita tanpa kecuali membutuhkan perlengkapan senjata rohani. Jika demikian, apakah kehidupan saudara telah dilengkapi dengan perlengkapan senjata rohani dari Allah? Kita yakin apabila telah diperlengkapi dengan perlengkapan senjatara rohani, maka kita dimampukan untuk selalu memilih dan memutuskan apa yang benar di hadapan Allah sehingga kita memiliki keberanian menyatakan sikap iman. Permohonan rasul Paulus adalah: “Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara” (Ef. 6:20). Bagaimana dengan sikap saudara? Amin.

Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
www.yohanesbm.com

Tidak ada komentar: